Kesepian

Sudah beberapa hari ini mataku tak menjamahnya dari kejauhan.
Sudah beberapa hari ini ulu hatiku perih karena belum tersemat tampak hadirnya.
Sudah beberapa hari ini warna-warni waktuku kurun dan turun berkurang.

Ah! Kemana dia?
Mentang-mentang orang penting lalu tidak datang ke kelas.
Mungkin dia sedang mengerjakan tugas lainnya?
Atau dia memang malas untuk keluar di siang buta ini?

Jendela di samping kananku seolah memanggilku untuk melihat ke hadapannya.
Aku melihat sebuah bangku buruk rupa berwarna abu yang menghitam tempat pantat mendarat-nya, ikut memanggil layaknya jendela di hadapanku ini.


Ah! Kesepian jugakah kalian?
Aku sudah merasa tidak berwarna karena kehilangannya, namun mengapa kalian tidak mengerti juga?
Mengapa kalian tidak merasa iba kepadaku?

Aku meraba kaca jendela yang sedikit berdebu karena tidak dibersihkan untuk beberapa jam lamanya.
Aku mengusapnya dengan ujung telunjuk jariku.
Lalu kuusap dengan dua, tiga, hingga kelima jariku seakan memeluknya.
Sepikah itu? Senangkah itu?
Butuh apa kau, wahai jendela?

Kucoba untuk membuka jendela yang sedari tadi tertutup itu.
Tidak kuhiraukan batuk yang disengaja oleh dosenku yang sedang asyik masyuk mengajar.
Tidak kuhiraukan juga beberapa temanku yang sedang niat untuk kuliah menatapku seolah aku manusia yang berasal dari bagian tengah bumi.

Angin menerpa wajah dan rambutku yang kusut dan kusam.
Kupejamkan mata dan kuhirup harum angin bercampur semilir suaranya yang mendesak-desak di pikiranku.
Kubuka mata dan kutemukan lagi bangku itu.
Sekarang dia yang kesepian.

Oh, oh!
Dan si dia pun datang.
Memakai baju kasualnya dengan lengan kiri mengapit beberapa buku kuliah dan tangan kanan memegang minuman khas kantin kampus.
Berjalan semena-mena sambil terus menjamah penglihatannya dengan bangku kesepian itu.
Lalu dengan seenaknya, dia melemparkan pantatnya dan duduk dalam diam disana.
Dia menaruh buku-buku berat itu di samping kirinya dan menaruh tangannya di bangku.
Dia terengah-engah dan menggumam ,"Jir, capek!"

Kemudian dia melihatku. Dan tersenyum.

Kudoakan semoga bangku itu tidak kesepian lagi.


Aku menatap iri wanita cantik yang sedang menatap Boy dengan sumringah.
Wanita yang beberapa menit lalu menjadi narator secuil narasiku.
Akan bagaimana jadinya bila aku menjadi dirinya.
Bila aku duduk disana. Menunggu si Boy.
Dan untuk selalu tersenyum padanya.
Untuk setiap kalinya siang menjadi buta dan sesepi ini.
Untuk setiap kalinya si Boy membalas senyumannya dengan penuh kasih sayang.
Untuk setiap kalinya ia lakukan hal itu tepat di atas ubun-ubunku.



up