Dia

Dulu, dia lebih dari sekadar saudara perempuanku.
Dia saudara sedarahku.
Dia temanku.
Dia sahabatku.
Dia pahlawanku.
Namun, semenjak 15 Agustus lalu dia mulai menyingkirkan keberadaanku di pikirannya.
Dia mulai membenciku dengan tahap yang sangat mengerikan.

Semua bermula ketika aku menyimpan rasa iri terhadapnya.
Semua dia punya.
Semua yang kumaksud adalah orangtua.
Manakala, semua-nya itu sungguh teramat baik pada diriku yang penuh dengki ini pula.

Ketika taraf penyakit hatiku ini mulai merangkak menuju puncak ubunnya, aku pun merasa harus segera bertindak.
Hal ini tidak bisa dibiarkan.

Kujamahi kedua tanganku dengan sepercik-dua percik dari apa-apa yang menjadi milik dia tadi.
Lalu, setahun ini aku berpikir.
Kenapa aku tidak menyelesaikannya saja? Agar aku tak berpenyakit kembali atas semua miliknya itu.

"Kau... Pembunuh!"

Dia menunjuk ke arahku sesaat sebelum kupenuhi lenganku dengan semburan likuit merah karena kegiatan yang kulakukan dengan penuh emosi dan berulang-ulang.
Dan berulang-ulang.
Hingga dia pun tak sempat menutup kedua matanya.

1 komentar:

Monfils Marguerite mengatakan...

Ini horor sekali uhuhu ToT

Posting Komentar


up